Tuesday, April 21, 2015

STORY OF CMO :SEPUTAR BUNGA,RIBA DAN BISNIS

SEPUTAR BUNGA,RIBA DAN BISNIS
Sumber gambar :bmtmuamalatsejahtera.blogspot.com Ada pengalaman menarik ketika penulis mengikuti program training marketing di learning center perusahaan di Puncak Bogor. Ada seorang kawan peserta training yang kaget dan terkejut dengan latar belakang pendidikan penulis yang berbasis keagamaan. Tepatnya universitas islam semacam UIN yang bagi masyarakat awam dikenal sebagai orang yang berpikir konservatif atau militan dalam beragama. Dua kawan CMO dari cabang Denpasar dan Lombok itu lalu menyimak penjelasan penulis mengenai pertanyaan “ ah berarti kamu makan riba.tugas marketing kan jualan bunga. Padahal islam sangat melarang riba, nah loe bagaimana kamu bisa masuk dunia riba,hukumnya gimana? Sambil minum teh hangat dan makan camilan snack ringan saat jeda training,kami berdiskusi terkait “bunga dan riba dalam bisnis”. Pertanyaan menarik dan paling ditunggu-tunggu karena dalam hati penulis bergumam inilah saatnya meluruskan perdebatan tentang bunga dan riba bagi bisnis perbankan dan finance seputar kontroversi dan sikap para pegawai perusahaan tersebut harus tahu bagaimana di tengah kesimpangsiuran pendapat dan opini para ulama. Apalagi di depan penulis, telah berkumpul kawan-kawan CMO perusahaan dari berbagai cabang seluruh Indonesia menunggu jawaban dari penulis yang memuaskan sekaligus menentramkan hati mereka yang gelisah dan tidak tenang dengan hukum pekerjaan mereka yang dijalani. Secara konseptual riba sebagaimana menurut hukum syariat islam memang diharamkan karena dapat merugikan pihak lain (nasabah/customer). Faktor utama yang menyebabkan riba dilarang oleh agama adalah ketidakadilan sosial yang terjadi. Sederhananya,tidak ada akad perjanjian yang jelas dan transparan antara kedua belah mengenai “tambahan biaya” atau “beban atas jasa transaksi perjanjian”. Karena pihak pemilik pinjaman (dana,barang) tidak menjelaskan besarnya bunga dan klausul-klausul perjanjian secara terperinci dan cermat. Ketiadaan akad adanya “bunga dan resiko bisnis” yang bakal timbul menyebabkan riba sehingga tidak prospektif terhadap prinsip-prinsip bisnis islami yang sehat. Padahal prinsip bisnis islam selalu berorientasi kemaslahatan umat bukan profit perusahaan semata yang dikejar. Lalu bagaimana dengan bunga bank?,lalu bagaimana sebenarnya prinsip bagi hasil bank syariah yang saat ini terjadi. Serta relevansinya dengan bunga pada perusahaan finance?. Menurut seorang praktisi dan ahli perbankan syariah,sistem syariah dalam perbankan memang belum final, masih terdapat kelemahan-kelemahan dan kekurangan yang perlu dibenahi,disempurnakan sehingga perlu perbaikan secara bertahap agar semakin baik dan maslahat bagi semua pihak. Seorang ketua tamir masjid pernah bertanya pada penulis perihal bagi hasil dalam bank syariah dalam kasus yang dihadapi adalah BMT/BPRS. Beliau menceritakan mengenai bunga pinjaman yang kelihatannya besar dibanding pokok hutangnya. Kenapa hutang 20 juta dalam tenor 3 tahun, setelah dihitung-hitung antara angsuran dan bunga yang dikenakan kenapa sampai 27 juta lebih atau sekitar 20% dari pokok hutang?. Lalu apa bedanya dengan bank-bank konvensional?, saat itu penulis tidak tahu persis bagaimana prosedur akad perjanjian atau pinjaman di BMT, tetapi dari penjelasan dan keterangan sang Ketua Tamir tersebut penulis hanya membedah kemungkinan-kemungkinan perhitungan angsuran dan bagi hasil yang dikenakan padanya dulu waktu akad pinjam dana. Hal ini penting mengingat tidak semua umat islam paham dengan proses dan prosedur sistem perbankan syariah karena faktor sosialisasi atau penjelasan yang tidak utuh, lengkap dan terperinci sehingga terjadi salah tafsir,atau lebih tepatnya kesalahpahaman antara nasabah dengan pihak lembaga keuangan syariahnya. Kembali mengenai penjelasan skenario akad pinjaman ketua tamir dengan BMT di sekitar rumahnya tersebut,yaitu pertama. Dijelaskan oleh pihak petugas BMT bahwa ada tiga jenis tanggal jatuh tempo yang disebutkan dalam klausul akad pinjaman. Jenis tanggal tempo pembayaran angsuran itu dibagi menjadi awal bulan, pertengahan bulan dan akhir bulan. Kemudian sang tamir memilih tempo akhir bulan tepatnya,setiap tanggal 28. Lalu beberapa saat kemudian petugas menghitung jumlah angsuran yang harus dibayarkan kepada calon nasabahnya. Misalkan hasilnya adalah @750.000 x 36 bulan. Untuk beberapa waktu calon nasabah tidak menghitung berapa kelebihan hutang yang dikenai dari pinjaman 20 juta tersebut. Lalu ketika perjanjian ditandatangani, jaminan sertifikat tanah dserahkan. dana diterima. Selang beberapa bulan,sang nasabah menghitung kembali jumlah angsuran dengan tenor 3 tahun serta dibandingkan dengan pokok hutang yang tersisa. Betapa kagetnya karena jumlah perbedaannya sangat besar. Dari kronologis ini penulis menjelaskan bahwa perhitungan angsuran petugas antara awal bulan,pertengahan bulan dan akhir bulan berbeda satu sama lain. Logika perusahaan berbunyi semakin lama tanggal jatuh tempo angsuran semakin besar jumlah angsuran yang harus disetorkan ke BMT. Artinya besar kecilnya bagi hasil tergantung jatuh tempo yang dikehendaki nasabah, jadi perbedaan jumlah “bunga bagi hasil” adalah fleksibiltas tanggal tempo belaka,tidak lebih. Dan yang lebih penting adalah toleransi terhadap nasabah yang lebih longgar dan manusiawi dibanding bank konvensional. Disinilah letak kerancuan pemahaman masyarakat awam khususnya ketua tamir tadi yang tidak mempertanyakan kenapa BMT atau bank syariah memberlakukan sistem perhitungan seperti itu?, faktor penyebab terjadinya kerancuan itu bisa bermula dari pihak nasabah atau pihak petugas BMT yang tidak menjelaskan sistem perbankan syariah secara utuh,rinci dan transparan. Jika penyebabnya dari nasabah memang wajar karena informasi lengkap mengenai sistem syariah perbankan hanya di lembaga-lembaga keuangan syariah yang tersebar di berbagai pelosok daerah tersebut. Biasanya penjelasan mengenai informasi tersebut, sebagian kebijakan perusahaan/Bank tidak terbuka secara penuh. Sehingga terjadi gap informasi, maka terjadilah kasus yang dialami ketua tamir tadi. Sedangkan jika penyebabnya dari pihak petugas yang menutup-nutupi aturan atau kurangnya transparansi perhitungan bagi hasil tersebut. Mungkin sebagian kebijakan bank tertentu dianggap sebagai rahasia perusahaan atau dapur dalamnya perusahaan jadi tidak boleh disampaikan ke pihak luar. Last but not least bahwa bunga bank dari hukum asalnya haram, tetapi dalam hukum marfu (hukum yang berlaku baik kepada masyarakat secara populer) adalah boleh dengan catatan akad transaksi itu dijelaskan secara utuh lengkap, berapa bunga yang dikenakan dan prosedur jika terlambat membayar angsuran berapa dendanya,penalti dan sebagainya. Nasabah berhak tahu prosentase hitungan bunga, asuransi dan segala biaya adminitrasi secara terbuka dan valid. Dalam praktiknya meskipun terkesan rumit dan agak ribet,tetapi demi kemaslahatan umat, persoalan bunga menjadi isu paling sensitif dan seksi dalam industri perbankan. Kenapa begitu?, bisa jadi kelompok ulama atau pihak tertentu yang memesan fatwa bunga bank haram memiliki kepentingan dengan bank bersangkutan. Hal ini terbukti sejak fatwa haram bunga bank oleh MUI bergulir, tidak beberapa lama berbondong-bondong sebagian nasabah muslim yang awam memindahkan tabungannya ke bank syariah. Secara prinsip perbedaannya dengan sistem syariah yang disebut “bagi hasil” pada dasarnya hanya lebih pada fleksibilitas aturan dan toleransi perlakuan yang lebih baik kepada nasabahnya dibanding bank konvensional. Jika melihat pola ekonomi yang dikembangkan oleh sistem perbankan syariah adalah demi memenuhi kewajiban dan pengamalan agama islam lebih komprehensif serta sesuai dengan syariat islam. Meski dalam realitasnya masih jauh dari panggang api. Penulis optimis sistem perbankan syariah semakin hari akan lebih baik dengan perbaikan-perbaikan dan penyempurnaan secara fundamental demi kemaslahatan umat islam pada khususnya dan masyarat umum secara global. Jangan sampai ada lagi cibiran bahwa bank-bank syariah berperan dalam menghancurkan citra islam yang buruk dengan banyaknya kasus bank-bank syariah yang kolaps karena dana nasabah ditilap dan dibawa kabur. Padahal hal itu merupakan hanya sebagian kasuistik yang terjadi pada oknum-oknum pegawai yang tidak amanah.

No comments:

Post a Comment